01 April 2009

PASKAH


PASKAH merupakan sebuah hari raya yang diadakan untuk memperingati bebasnya Israel dari Mesir. Nama “Paskah” itu sendiri berasal dari Bahasa Kasdim yang kemudian diadopsi ke dalam Bahasa Ibrani, Pesakh, berarti “dilewati.” Nama ini diambil dari peristiwa ketika anak-anak sulung di Mesir meninggal akibat tulah yang dijatuhkan kepada mereka. Sementara, rumah-rumah orang Israel (baca: Ibrani) ‘dilewati’, sehingga anak-anak sulung mereka selamat. Tanda yang digunakan sebagai simbol Paskah adalah darah anak domba (Keluaran 12:1-13).


Dalam tradisi Yahudi, Paskah dirayakan selama tujuh hari pada tanggal 15-21 Abib atau Nissan menurut almanak Ibrani. Hari raya ini juga dikenal dengan sebutan ‘Hari Raya Roti Tidak Beragi,’ sebab selama tujuh hari dalam peringatan itu, orang Yahudi harus memakan roti yang tidak beragi (Keluaran 12:15-20; 23:15).

Pada tanggal 10 Nissan, seorang kepala keluarga sudah harus memisahkan anak domba atau lembu. Anak domba itu haruslah tanpa cacat. Dengan kata lain, anak domba itu haruslah anak domba yang terbaik dari kumpulan anak domba. Itulah yang harus dipersembahkan.

Sudah menjadi tradisi turun-temurun di antara orang Yahudi, bahwa Paskah dirayakan secara besar-besaran. Pada hari raya ini, orang-orang Yahudi kembali ke Yerusalem (band. Lukas 2:41-42; Yohanes 11:55). Dengan demikian, Yerusalem menjadi kota yang ramai. Pemerintah Romawi yang ketika itu menjajah kawasan ini tentu saja bersikap ekstra ketat. Apalagi pada waktu itu berkembang isu akan adanya pemberontakan dari kelompok gerilyawan Yahudi (kemungkinan kelompok Zelotis).

Yesus, sebagai seorang Rabi, juga menyempatkan diri untuk datang ke Yerusalem. Pada waktu itu, banyak orang yang telah memilih untuk menjadi pengikut-Nya. Berbagai kelompok dari berbagai latar belakang senantiasa mengawal Yesus kemana pun Ia pergi. Demikian juga, setiap kunjungan Yesus selalu dinanti-nantikan oleh banyak orang. Tak heran, kunjungan-Nya ke Yerusalem mendapatkan sambutan yang luar biasa (Matius 21:8-11; Markus 11:8-10; Lukas 19:37-38).

Secara politik dapat dikatakan bahwa Yesus telah memiliki cukup massa untuk melakukan kudeta, dan secara teologis, Ia memiliki cukup pengikut untuk mendirikan sebuah mazhab atau aliran keagamaan yang baru. Mungkin, inilah yang menjadi dasar perhitungan Petrus, sehingga ketika Yesus hendak ditangkap, ia tidak segan-segan mencabut pedangnya. Itu juga yang sekaligus melemahkan pandangannya tentang Yesus, ketika ia melihat Yesus seperti tidak berdaya dalam pengadilan rekayasa kelompok Farisi dan Saduki.

Kunjungan Yesus ke Yerusalem kali ini bukan semata kunjungan dalam rangka Paskah. Dapat dipastikan, ini bukanlah kunjungan pertama-Nya ke Yerusalem. Sejak kecil, orang tua-Nya telah membawa-Nya ke Yerusalem (Lukas 2:22). Demikian juga setiap Paskah tiba, Yesus menyempatkan datang ke Yerusalem.

Namun, kunjungan Paskah kali ini berbeda. Pertama, saat itu memang merupakan waktu bagi Yesus untuk melayani di Yerusalem setelah menghabiskan sebagian besar waktu-Nya dengan pelayanan-Nya di berbagai kota di sekitar Yerusalem. Kedua, Yesus mengetahui dengan pasti bahwa saat itulah waktu-Nya untuk menyelesaikan tugas suci-Nya.

Itulah sebabnya para penulis Injil menaruh perhatian khusus terhadap Paskah menjelang kematian Yesus (Matius 26; Markus 14; Lukas 22; dan Yohanes 13; 18-19). Mereka semuanya menuliskan dengan jelas bagaimana Yesus mengetahui persis bahwa Paskah adalah waktu terakhir, dimana Ia akan diserahkan untuk disiksa dan disalibkan (Matius 26:2; Markus 14:18; Lukas 22:15; dan Yohanes 13:1).

George R. Beasley-Murray, seorang profesor dalam bidang tafsir Perjanjian Baru di Southern Baptist Theological Seminary, Louisville, mengatakan bahwa melalui perikop ini (khususnya 13:1-3), penulis Injil Yohanes menuangkan lima elemen utama dari pemahaman teologinya.

Kelima elemen utama yang dimaksud adalah: (1) Pengetahuan Yesus tentang “saat-Nya” atau “waktu-Nya” (band. 12:27); (2) kasih-Nya kepada mereka yang menjadi milik-Nya (band. 1:11); (3) segala sesuatu telah diserahkan Bapa kepada-Nya (band. 3:35); (4) kenyataan bahwa Ia datang dari Allah dan kembali kepada Allah (band. 16:28); dan (5) Iblis yang senantiasa bertindak sebagai penentang karya Allah (band. 12:31; 13:27).
Saat-Nya sudah tiba...

Frase ini memiliki makna yang sangat dalam. Kata “saat” atau “waktu” (hôra, Yun.) menunjukkan tujuan kedatangan-Nya dunia (12:27). Waktu juga menunjukkan bagaimana Allah akan memuliakan Yesus dan Yesus akan memuliakan Allah (12:24-26). Melalui waktu itu juga, pengadilan atas dunia dan penaklukan terhadap Iblis digenapi (12:31-32).

Penulis Injil Yohanes menyebut waktu itu sebagai waktu untuk metabê ek tou kosmou toutou pros ton Patera (beralih dari dunia ini kepada Bapa). Istilah ini merupakan sebuah istilah yang sudah lazim di kalangan Yahudi untuk menyebutkan soal kematian. Namun, dalam ayat ini, Yohanes memberi makna lebih dalam. Ia menggunakan kata ini bersama-sama dengan kata paskha (terjemahan Yunani untuk kata pesakh, Ibr). Secara harafiah, kata metabê ek memiliki pengertian yang sejajar dengan kata pesakh “melewati.”

Dari sinilah mestinya gereja melandaskan konsep “pemanggilan keluar” (ek kaleô atau ekklesia Yun.). ‘Dipanggil keluar’ bukan berarti kehilangan perhatian terhadap dunia apalagi menjauhi dunia.

Penulis Injil Yohanes dengan sangat cermat mengulangi makna kasih Yesus dalam ayat ini, “sama seperti Ia senantiasa mengasihi murid-murid-Nya demikianlah sekarang Ia mengasihi mereka sampai kepada kesudahannya.” Jadi, ‘beralih dari dunia’ bukan berarti ‘berpaling dari dunia.’ Yesus ‘beralih dari dunia’ bukan karena Ia membenci dunia, melainkan sebaliknya, karena kasih-Nya kepada dunia.

Kasih yang besar itu jugalah yang membawa Yesus ke Yerusalem. Kasih yang tidak sekedar mengantar-Nya untuk menyembelih kurban Paskah, melainkan lebih dari itu. Ia datang sebagai Anak Domba Paskah itu sendiri. Sang Kurban yang membebaskan manusia dari keterkungkungan akibat dosa. Tidak ada ‘kebebasan’ yang lebih besar daripada kebebasan yang Yesus tawarkan!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar