Teman-teman ini beberapa foto saat Retreat
"Hatiku UntukMu" 24-26 Januari 2009
di Wisma Baptis Bukit Soka Salatiga.
Untuk galeri foto selengkapnya silakan klik di SINI.
Dan untuk galeri video bisa diklik di SINI
Berikut beberapa di antaranya :
Teman-teman ini beberapa foto saat Retreat
"Hatiku UntukMu" 24-26 Januari 2009
di Wisma Baptis Bukit Soka Salatiga.
Untuk galeri foto selengkapnya silakan klik di SINI.
Dan untuk galeri video bisa diklik di SINI
Berikut beberapa di antaranya :
Secara umum, kita dapat membedakan kanonisasi Perjanjian Lama dan kanonisasi Perjanjian Baru. Dalam ensiklopedi kali ini, kita akan berbicara tentang kanonisasi Perjanjian Lama. Kanonisasi Perjanjian Lama dapat dibedakan antara Kanonisasi Yahudi, Samaritan, dan Kristen. Jika kanonisasi Yahudi dan Samaritan nyaris seragam, kanonisasi Kristen justru beragam. Dalam ensiklopedi ini, akan dibatasi pada kanonisasi Katolik dan Protestan.
Kanon Mula-mula
Menurut kitab Makabe, Imam Besar Ezra, pada sekitar tahun 400 SM, tak lama setelah bangsa Israel diizinkan kembali ke negerinya oleh Raja Persia, membawa kitab-kitab Musa (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan) dari Babel ke Israel.
Kumpulan kitab-kitab Musa itu dianggap sebagai Kanon Ezra yang penyusunannya diduga persis seperti susunan yang ada sekarang, mengingat Ezra adalah seorang pakar Taurat Musa.
Dalam 2Makabe 2:13 dikatakan juga bahwa pada periode yang sama, Nehemia menemukan suatu kumpulan kitab mengenai para raja dan nabi, tulisan-tulisan Daud, dan surat-surat para raja mengenai pembayaran nazar. Kedua kitab Makabe (1 dan 2) juga mengatakan bahwa Yudas Makabe mengoleksi kitab-kitab suci. Namun, tidak disebutkan kitab-kitab apa saja itu.
Yesus bin Sirakh, sekitar tahun 180 SM, menyebutkan daftar nama yang urutannya seperti dalam Taurat (Tora), kitab para Nabi (Nevi’im), dan beberapa nama dalam kitab-kitab tulisan atau sastra (Kethuvim). Dalam daftarnya itu, Sirakh tidak menyebut nama Rut, Kidung Agung, Ester, Daniel, dan Ayub.
Septuaginta (LXX): Kanon Aleksandria
Komunitas Yahudi ini mengalami pengaruh langsung dari budaya dan bahasa Yunani (Hellenis), sehingga banyak di antara mereka justru lebih menguasai Bahasa Yunani, sementara Bahasa Ibrani nyaris menjadi bahasa mati.
Melihat hal itu, para sarjana Yahudi yang kira-kira berjumlah 72 orang berkumpul di Aleksandria pada sekitar abad ke-3 sampai dengan abad pertama SM. Mereka menerjemahkan kitab-kitab suci berbahasa Ibrani ke dalam Bahasa Yunani Koine. Terjemahan itu dikenal dengan nama Septuaginta atau disingkat LXX (artinya "tujuh puluh" sesuai jumlah sarjana Yahudi yang menerjemahkannya).
Selama bertahun-tahun, Septuaginta menjadi kanon Yahudi. Naskah ini menyebar di seluruh wilayah berbahasa Yunani dan menjadi dasar penggunaan istilah-istilah teologi dalam Bahasa Yunani yang kemudian juga digunakan oleh para penulis Perjanjian Baru. Dua pakar Yahudi pada waktu itu, yaitu Philo Judaeus (pakar filsafat) dan Yosefus (pakar sejarah) menyebut Septuaginta sebagai inspirasi ilahi.
Kitab-kitab yang masuk dalam Septuaginta berdasarkan urutannya adalah:
1. Genesis (Kejadian)
Sekolah dan Konsili Yavne (Yamnia)
Pada tahun 66 M, sebuah gerakan revolusi Yahudi terjadi secara besar-besaran di Yerusalem, untuk menentang pendudukan Romawi atas wilayah itu. Akibatnya, pada tahun 70 M, Romawi melancarkan serangan balik dengan menghancurkan Yerusalem termasuk Bait Suci Kedua. Pada waktu itu, Rabbi Yokhanan ben Zakkai menjabat sebagai Tanna. Ia merupakan kontributor utama dalam penyusunan teks-teks inti Mishna.
Situasi yang parah di Yerusalem membuat Rabbi Yokhanan dipindahkan ke kota Yavne atau yang dalam Bahasa Latin disebut "Iamnia." Di sana, ia mendirikan sebuah sekolah hukum Yahudi, yang di kemudian hari banyak memberikan kontribusi bagi penyusunan Mishna, bahkan menjadi sumber dari penyusunan Midrash, Talmud dan Aggada (literatur lain menyebut sekolah hukum Yahudi di Yavne ini dengan sebutan Kolese Yavne. Ada juga yang menyebutnya Akademi Yavne).
Sekolah hukum Yahudi di Yavne diyakini sebagai penerus dari Sanhedrin Agung di Yerusalem. Sanhedrin Agung Yerusalem inilah yang memegang kendali utama dalam peristiwa penyaliban Yesus. Bahkan, menurut penulis Injil Matius, Sanhedrin Agung ini bertanggung jawab atas kebohongan-kebohongan seputar hilangnya mayat Yesus.
Sebagai penerus Sanhedrin Agung Yerusalem, sekolah hukum Yahudi di Yavne memegang peran vital dalam penyusunan hukum-hukum Yahudi. Sejumlah pakar hukum Yahudi yang terkenal pun banyak dilahirkan dari sekolah ini, di antaranya Rabbi Gamaliel Yavne (Gamaliel II), yang terkenal karena diskusinya di Roma dalam membela iman Yahudi terhadap kaum pagan dan Kristen, serta Rabbi Akibba ben Yosef (Rabbi Akiva), yang terkenal karena otoritasnya dalam hal tradisi Yahudi serta sumbangan-sumbangan pentingnya dalam penyusunan Mishna dan Midrash Halakha.
Hal lain yang cukup menonjol dari sekolah ini adalah disusunnya liturgi-liturgi dan doa-doa Yahudi ke dalam bentuk permanen. Di sini juga, Targum Pentateukh diedit dan kemudian menjadi landasan bagi Targum Onqelos.
Ketika Yahudi memasuki masa kegelapan, yaitu ketika Bahasa Ibrani nyaris menjadi bahasa mati dan ketika banyak orang Yahudi yang menjadi Kristen, para ahli dari sekolah ini berkumpul dan mengadakan Konsili pada tahun 90-95 M, yang kemudian dikenal dengan nama Konsili Yavne atau Konsili Yamnia.
Dua keputusan penting dari Konsili ini adalah penolakan terhadap Septuaginta (LXX) dan kutukan terhadap kaum Minim. Kutukan ini mendapat respon dari sejumlah bapak-bapak gereja pada waktu itu.
Dampak dari Konsili ini adalah ditetapkannya penggunaan Bahasa Ibrani untuk kepentingan agama (bahkan bagi orang-orang Yahudi di luar Israel) serta pemisahan antara Yahudi dan Kristen. Meski begitu, banyak orang Kristen yang dulunya beragama Yahudi, masih beribadah di sinagoge-sinagoge Yahudi sampai akhir abad pertama masehi.
Berdasarkan keempat kriteria di atas, maka tujuh kitab yang ada dalam Septuaginta (LXX) yang ditolak adalah:
Pada abad ke-7 hingga abad ke-11 M, lahirlah kelompok ahli kitab suci Yahudi yang tinggal di sekitar wilayah Babilonia dan Palestina. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama kelompok Massoret, yang mewakili dua sekolah Yahudi yang terkenal pada waktu itu.
Sekolah pertama diwakili oleh Aharon ben Moshe ben Asher (meninggal sekitar tahun 960 M), sedangkan sekolah kedua diwakili oleh Moshe Ben Naftali (sering juga disebut Ya’akov ben Naftali, ada juga yang menyebutnya ben Dawid ben Naftali. Hidup pada tahun 890-940 M).
Keduanya adalah tokoh-tokoh Massoret yang terlibat dalam perdebatan panjang soal kodefikasi Naskah Ibrani. Perdebatan mereka tidak selesai, sehingga memunculkan dua standard kodefikasi Naskah Ibrani, yaitu kodefikasi ben Asher dan kodefikasi ben Naftali (perbedaan kodefikasi antara keduanya dapat dilihat dalam "Masoret dan Standarisasi Perjanjian Lama").
Kelompok Massoret mengumpulkan manuskrip-manuskrip berbahasa Ibrani dan kemudian membanding-bandingkannya. Hal itu mereka lakukan untuk membuat suatu teks Ibrani standard yang lebih mudah dibaca. Karena itu, salah satu usaha mereka adalah memberikan tanda niqqud (tanda vokal) ke dalam manuskrip-manuskrip kuno tersebut.
Pemberian tanda niqqud sangat penting, mengingat huruf-huruf Ibrani kuno tidak mengenal huruf vokal.
Proses pemberian tanda vokal seringkali membutuhkan tafsir khusus, sebab tidak sedikit kata dalam Bahasa Ibrani yang akan memiliki perbedaan arti hanya karena perbedaan tanda vokal atau cara membacanya, misalnya kata "אב" (‘-v) yang disusun oleh dua huruf Ibrani: alef dan beth. Jika dibaca "av" artinya "bapak." Namun, jika dibaca "ev" artinya menjadi "rumput muda."
Selain masalah pada pemberian tanda vokal, Kelompok Massoret juga diperhadapkan pada perbedaan huruf konsonan antara satu manuskrip kuno dengan manuskrip lainnya. Akibatnya, teks standard yang disusun oleh Kelompok Massoret seringkali memiliki perbedaan dengan beberapa manuskrip kuno yang digunakan sebelumnya.
Para ahli mengungkapkan bahwa jika teks standard Kelompok Massoret dibandingkan dengan manuskrip-manuskrip kuno termasuk dengan Septuaginta (LXX), akan ditemukan sejumlah perbedaan, baik perbedaan kecil maupun perbedaan yang cukup besar.
Untungnya, Kelompok Massoret menyertakan penjelasan-penjelasan dalam naskah mereka, misalnya dalam Yos. 21:37. Dalam teks standard Massoret dijelaskan bahwa frase "empat kota" tidak ditemukan dalam manuskrip-manuskrip kuno tertentu.
Perbedaan penggunaan huruf-huruf konsonan juga ditemukan antara teks standard ben Asher dan teks standard ben Naftali. Perbedaan tersebut muncul karena perbedaan pandangan mereka mengenai manuskrip-manuskrip kuno yang menjadi acuan mereka.
Bagaimana agar memperoleh janji Allah?
Abraham menikmati dengan cara Allah yang menyatakannya sendiri, demikian pula dengan Musa, Yusuf, dll. Daud menerima janji Allah dengan cara meminta kepada Allah, demikian pula dengan Salomo, Raja Yosafat, dll. Jika Allah tidak menyatakan sesuatu kepada kita, maka hendaklah kita memintanya, karena inipun yang diajarkan oleh Yesus, bahwa kita diminta untuk meminta kepada Allah (Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam nama-Ku.
Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu. Yoh. 16:24). Jika Allah yang adalah empunya segala sesuatu ini menyatakan kunci berkat yang sedemikian besar, apakah kita akan meminta sesuatu yang kecil? Saya senang dengan kata-kata dari Dawson Trotman: jangan minta kacang goreng! Tapi mintalah bangsa-bangsa! Sanggupkah Allah?
Menanti sampai digenapi
Inilah yang menjadi pertanyaan bagi sebagian besar orang berkaitan dengan daya tahan tiap pribadi untuk menanti Allah menggenapi janjiNya. Orang-orang yang tekun dalam doa dan firman akan terus menikmati masa-masa penantian ini, jika mulai hambar mereka akan senantiasa diteguhkan dan disegarkan oleh Roh Kudus. Orang-orang ini paham, jika suatu janji telah diikrarkan, maka tugas selanjutnya lebih mudah, tinggal terus menabur dan menyiram, dan taat pada Allah. Mengapa demikian, ingat, perjanjian antar dua pihak akan terus berjalan jika masing-masing pihak tetap pada kesepakatan semula dan tidak berusaha menyalahi aturan.
Dulu saya pernah dijanjikan sebuah sepeda balap oleh Bapak saya jika bersedia masuk ke sekolah Kristen, saya menurut dan sepeda itu menjadi milik saya, seandainya saya tidak menurut mungkin kalau berangkat sekolah masih bersama sepeda BMX merah. Begitu pula dengan Allah. Dia akan meneruskan sampai digenapiNya apa yang telah dijanjikanNya jika kita tetap taat, di lain pihak Dia berhak pula membatalkan janjiNya jika kita tidak taat pada Dia.
Musa pernah mengalaminya sekali, dia tidak taat ketika diminta Allah untuk berkata kepada bukit batu agar mengeluarkan air, tetapi dia malah memukul bukit itu, akibatnya dia tidak diijinkan Allah masuk ke negeri perjanjian itu (Bil. 20:12). Salomo, raja terbesar yang pernah hidup, juga mengalami hal ini. Dia tidak selamanya hidup setia kepada Allah Israel, akibatnya janji berkat yang dialamatkan kepada keturunan Daud tidak dilanjutkan Allah, melalui pecahnya kerajaan Israel hingga runtuhnya kerajaan itu pada jaman Nebukadnezar berkuasa di Babel. Janji Allah dapat dibatalkanNya jika kita tidak taat pada Allah.
Anugerah
Ada satu lagi janji Allah, yaitu yang dinyatakanNya tanpa syarat. Janji ini dapat kita istilahkan sebagai Anugerah Allah. Anugerah ini bersifat kekal dan tidak dipengaruhi oleh sikap kita atau ketaatan kita pada Allah. Ketika Allah menyatakan janji kepada Abraham, bahwa dia akan menjadi suatu bangsa yang besar dan akan menjadi berkat bagi semua kaum di muka bumi, ini adalah suatu contoh anugerah Allah (Kej. 17:7). Semula anugerah ini hanya diperuntukkan bagi keturunan yang lahir dari Sara (Kej.21:12), tetapi kemudian dalam perkembangannya berkat inipun berlaku atas keturunan Hagar, yaitu Ismael (Kej.21:13). Kita lihat di sini, janji ini dinyatakan oleh Allah tanpa syarat apapun (bandingkan dengan janji yang dinyatakan pada Daud, mengenai keutuhan kerajaan Israel, 1 Raj. 2:4). Sampai sekarang, setelah ribuan tahun berlalu sejak janji ini dinyatakan, kita masih dan sedang menikmati berkat ini dan sedang terus berlangsung sampai semua kaum di muka bumi mendapat berkat, yaitu mendengar Kabar Sukacita.
Pemilihan atas Israel sebagai umat Allah adalah contoh lain dari anugerah Allah. Israel, adalah suatu bangsa yang paling tegar tengkuk didalam mengikuti illahnya. Ketika berada dalam suasana damai, aman, nyaman, maka ketidaktaatan Israel muncul sehingga seringkali menimbulkan kecemburuan Allah. Akan tetapi Allah tetap menganggap Israel sebagai umat pilihanNya. Kenyataan bahwa Israel pernah dihancurkan, dicerai beraikan Allah adalah juga dalam rangka Allah menunjukkan kasihNya kepada bangsa ini, yaitu memurnikan Israel sehingga menjadi umat yang benar-benar mengasihi Allah.
Penutup
Iman, adalah karunia Allah bagi setiap yang percaya bahwa Allah akan menyertai mereka. Bagian kita adalah melakukannya dan jangan takut atau bimbang. Jika iman kita dijawab, pujilah Tuhan, atau jikapun tidak, Dia tetap Allah kita. Janji adalah kemenangan bagi setiap orang percaya, karena Allah pasti menggenapinya. Jika sesuatu yang besar Allah berikan, mengapa kita minta sesuatu yang kecil? Mintalah pada Allah janji-janji yang besar, jika perlu yang besar sekali, karena Allah pasti memberikannya.
Dalam KasihNya,
Rudie Ariwibowo