03 Maret 2009

MEMANDANG SEBUAH PEMBERIAN



Memberi mempunyai arti menyerahkan hak kita atau sesuatu yang menjadi milik kita kepada orang lain agar menjadi milik orang itu. Ini adalah definisi sederhana mengenai memberi. Jika saya mempunyai dua buah apel dan saya menyerahkan satu apel kepada Mas Tatok, sehingga Mas Tatok juga menikmati apel itu, maka saya sudah melakukan tindakan memberi. Semua orang dapat melakukan hal itu. Tetapi, bagaimana kita semestinya memandang dan mengerjakan sebuah pemberian (persembahan), terutama yang menyangkut hubungan kita dengan Allah?

Pemberian dalam konteks Tubuh Kristus

Allah mengajarkan makna sebuah “pemberian” bukan pada teorinya saja, tetapi Dia juga menunjukkan cara bagaimana memberi. Ingat Yohanes 3:16 ? Apa yang menjadi motivasi Allah dalam memberikan karuniaNya pada dunia? Kasih, kasih yang begitu besar dan memang itulah satu-satunya dasar bagi orang percaya untuk memberi. Kerelaan akan muncul manakala kasih ada pada seseorang. Tetapi, apa itu kasih? Kasih dapat diartikan mengusahakan seluas-luasnya keuntungan untuk orang lain dengan mengabaikan keuntungan diri sendiri. Karena sesungguhnya keuntungan kita adalah bahwa orang-orang yang kita kasihi diberkati Allah, semakin mengenal Allah, bertumbuh dalam watak-watak yang positif dan semakin bijaksana. 

Dalam kehidupan berjemaat, entah itu gereja, lembaga pelayanan, persekutuan bersama dan bentuk-bentuk lain, jalannya organisasi biasanya didukung oleh persembahan orang-orang yang terbeban untuk mendukungnya. 

Bangsa Israel, setelah keluar dari Tanah Mesir mendapat perintah dari Allah untuk tidak melupakan persembahan, yaitu korban-korban. Saya mencatat ada 5 macam korban yang harus ditaati untuk dipersembahkan, yaitu: korban bakaran, korban sajian, korban keselamatan, korban penghapus dosa, korban penebus salah. Di luar korban-korban ini ada juga persembahan yang berupa barang-barang. Dari persembahan itu, sebagian diperuntukkan bagi Harun dan anak-anaknya serta keturunan Lewi, yaitu mereka yang bertugas di Kemah Suci. Jadi Allah menjamin kehidupan Harun dan anak-anaknya serta orang-orang Lewi melalui banga Israel.

Dalam pelayanan kita, orang-orang yang bertugas dalam pelayanan secara full time mendapat pemeliharaan dari Allah, salah satu caranya adalah melalui persembahan dari orang-orang yang terbeban untuk mendukung pelayanan. 

Dalam persembahan selalu ada proyek-proyek yang menjadi sasaran persembahan, sehingga alokasi dana menjadi jelas untuk apa saja, misalnya: untuk pembangunan gereja, untuk beasiswa, untuk keluarga tertentu, dst. Namun demikan, perlu dipahami bahwa cara pandang kita adalah bahwa kita tidak sedang memberi pada proyek, melainkan kepada Allah. Jika saya sudah menetapkan bahwa setiap bulan saya akan memberikan sekian rupiah untuk proyek Keluarga Pdt. Tyas, maka saya harus memandangnya bahwa saya tidak sedang memberi kepada keluarga Pdt. Tyas, tetapi memberi kepada Allah. Saya tidak tahu apa yang akan terjadi seandainya saya memandang bahwa sedang memberi kepada keluarga ini, apakah pemberian saya tetap tulus dengan dasar kasih, manakala saya sedang merasakan ketidaknyamanan ketika berhubungan dengan mereka? Pemberian adalah kepada Allah. Jika ini cara pandang kita, maka tidak ada lagi hal yang dapat mengganggu kemurnian kita.

Sebuah Pengorbanan

Suatu saat, Daud diminta nabi Gad untuk mendirikan mezbah bagi Tuhan ditempat pengirikan Arauna, orang Yebus (2 Samuel 24:18), berkenaan dengan murka Tuhan atas bangsa Israel karena kesalahan yang dibuat oleh Daud. Ketika Arauna melihat hal itu, maka dia bersedia memberikan secara gratis tempat pengirikannya dan lembu-lembunya beserta peralatan lain kepada Daud untuk dipakai sebagai korban bakarannya. Tetapi, apa jawab Daud? “Bukan begitu, melainkan aku mau membelinya dari padamu dengan membayar harganya, sebab aku tidak mau mempersembahkan kepada Tuhan, Allahku, korban bakaran dengan tidak membayar apa-apa” (24:24).

Daud tidak mau mempersembahkan korban tanpa dia mengorbankan sesuatu yang ada pada dirinya. Pemberian harus sampai pada titik kita merasakan sebuah pengorbanan atas apa yang kita miliki. Kita harus bisa merasakan sayang (eman = Jawa, red.). Jika dalam pemberian kita sudah sampai pada perasaan yang demikian, bisa dikatakan kita sudah memberikan yang terbaik. Orang akan merasa sayang jika apa yang terbaik dari yang dipunyainya hilang, diambil orang lain, atau tidak menjadi miliknya lagi. Sekali lagi Allah memberi teladan dalam memberikan yang terbaik, Dia tidak mengutus malaikatNya atau para serdaduNya, melainkan diriNya sendiri yang rela dikorbankan guna keselamatan manusia. 


Taat pada Allah

Waktu itu, Abraham hanya berkata pada Ishak: “Allah yang akan menyediakannya” (Kej. 22:8). Terkadang apa yang menjadi hambatan bagi kita untuk memberi adalah ketidakpercayaan kita pada kebaikan Allah. Kita susah untuk bisa mengerti dan percaya bahwa Allah yang benar-benar akan menolong kita dan memelihara kita. OK, mungkin bukan itu masalahnya, kita percaya dan sangat yakin bahwa Allah yang akan menolong dan memelihara kita, itu bagus. Tetapi bagaimana dengan ini: bahwa kita tidak suka dengan “cara” Allah menolong dan memelihara kita. Kita harus menanti, bahkan kadang-kadang sampai benar-benar perlu untuk “puasa”, harus rela tidak bisa makan di KFC dulu, beli kaos Billabong yang baru, sepatu baru, dan lain-lain yang baru. Ingat, bukan keinginan kita, melainkan kebutuhan kita yang akan Dia penuhi.

Jika memang kita perlu untuk “puasa” hari itu, berarti itu memang kebutuhan kita. Kesulitan kebanyakan orang adalah karena ketidakmauan mereka untuk bersyukur atas “cara” Allah, sehingga tidak suka dengan cara-Nya. Satu hal yang harus kita pahami adalah: bahwa Allah tidak akan membuat kita kekurangan atau mati kelaparan.

Sebuah refleksi mengenai respon Abraham saat diminta Allah untuk mengorbankan Ishak, dikisahkan bahwa Abraham menangis dan merasa tidak percaya bahwa Allah akan membuat permintaan yang demikian. Abraham mengalami pergumulan yang hebat dan terus menerus meratapi anaknya. Dia sangat tertekan sehingga tampak seperti seorang gila, yang terus menerus bicara dengan nada yang agak tinggi, tanpa lawan bicara. Mungkin ini sebuah respon yang biasa kita lakukan saat kita mendapati sebuah pilihan yang sulit. Namun, Abraham (yang disebut Bapa orang percaya) mengambil keputusan untuk taat pada Allah. Sebuah keputusan yang penuh risiko, mengingat bahwa dia akan kehilangan anak yang sangat disayanginya. Saya tidak percaya bahwa Abraham mengambil keputusan yang ceroboh dan bodoh, tetapi saya lebih percaya bahwa Abraham mengenal Allahnya sebagai Pribadi yang sanggup mengganti dukacitanya dengan sukacita yang melimpah, yang sanggup menjawab setiap janji-janji yang telah diucapkanNya.

Bagaimana dengan kita, masihkah kita berani mengklaim bahwa kita mengenal Allah, namun kita tidak mau percaya bahwa Allah sanggup:

- mengganti dukacita kita dengan sukacitaNya yang melimpah.
- menjawab janjiNya, bahwa Dia akan memenuhi segala kebutuhan kita.


Ketulusan

Apa yang salah dengan persembahan Ananias dan Safira? Bukankah tetap menjadi hak mereka untuk memberikan sekehendak hati mereka? Namun demikian, Allah tidak berkenan. “Jadi mengapa ada maksud di dalam hatimu untuk berbuat yang seperti itu?” kata Petrus. Ananias dan istrinya bukannya tidak mau memberi, namun mereka tidak tulus dalam melakukannya. Ada sebagian yang mereka tahan, dan bukan itu masalahnya, namun karena ada maksud tidak benar dalam hati mereka.

Ketulusan berhubungan dengan hati kita, hanya kita dan Allah yang tahu apa yang ada dalam hati kita. Hal yang lebih ironis lagi adalah bahwa manusia adalah makhluk nomor satu yang tidak dapat menjaga hatinya. Karena menjadi ruang tersembunyi yang tidak dapat dilihat, didengar dan dirasakan oleh sesamanya, maka iblis memilih untuk bermain di dalam hati kita. Betapa banyaknya kejahatan yang terjadi atau yang muncul melalui dan dalam hati kita, sehingga kita perlu untuk minta pertolongan Allah dalam menjaga kemurnian hati kita. Pemazmur dalam doanya berkata: Ujilah aku, ya TUHAN, dan cobalah aku; selidikilah batinku dan hatiku (Maz. 26:2).

Dalam pemberian dibutuhkan ketulusan, agar pemberian kita menjadi berkat bagi proyek yang kita tuju. Jika tidak demikian, maka sia-sia kita memberi karena tidak ada manfaatnya sama sekali.


Dukungan terhadap Visi Amanat Agung Kristus

Amanat Kristus yang terakhir sebelum Dia terangkat ke sorga, seperti yang tercatat pada Matius 28:19 – 20 adalah: “Karena itu pergilah, jadikanlah semua bangsa murid-Ku dan baptislah mereka dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus, dan ajarlah mereka melakukan segala sesuatu yang telah Kuperintahkan kepadamu. Dan ketahuilah, Aku menyertai kamu senantiasa sampai kepada akhir zaman.”

Para murid mendapat tugas ini, demikian juga orang percaya sekarang ini. Untuk melaksanakan visi ini diperlukan banyak pengorbanan, diantaranya biaya-biaya untuk menjangkau mereka yang belum mengenal Injil. Dimulai dari proses mengutus, menginjili, meneguhkan dan memperlengkapi sampai kemudian pada pengutusan orang-orang yang telah diperlengkapi. Selain itu, dibutuhkan juga orang-orang yang yang bersedia sepenuh waktu untuk fokus pada pekerjaan ini, tujuannya agar dapat mencurahkan segenap hidup dan pikirannya untuk orang-orang dan mengembangkan orang-orang itu. Contoh orang-orang ini adalah: pendeta, misionaris, staff fulltimer, dll. Kebutuhan hidup mereka dipenuhi dari persembahan jemaat atau orang-orang yang bersedia mendukungnya.

Persembahan, terutama diperuntukkan bagi proyek-proyek yang berhubungan dengan pelaksanaan visi AAK. Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita untuk terus setia dengan bagian kita untuk terus memberi agar semakin banyak orang-orang yang menjadi murid Kristus.


kata-Nya: "Aku bersumpah demi diri-Ku sendiri demikianlah firman TUHAN :Karena engkau telah berbuat demikian, dan engkau tidak segan-segan untuk menyerahkan anakmu yang tunggal kepada-Ku,
maka Aku akan memberkati engkau berlimpah-limpah dan membuat keturunanmu sangat banyak seperti bintang di langit dan seperti pasir di tepi laut, dan keturunanmu itu akan menduduki kota-kota musuhnya.
Oleh keturunanmulah semua bangsa di bumi akan mendapat berkat, karena engkau mendengarkan firman-Ku."
(Kejadian 22:16-18)

 



Dalam kasihNya,


Rudie Ariwibowo


Tidak ada komentar:

Posting Komentar