24 Februari 2009

Foto-Foto + Video Retreat 24 - 26 Januari 2009


Teman-teman ini beberapa foto saat Retreat

"Hatiku UntukMu" 24-26 Januari 2009

di Wisma Baptis Bukit Soka Salatiga.


Untuk galeri foto selengkapnya silakan klik di SINI.

Dan untuk galeri video bisa diklik di SINI


Berikut beberapa di antaranya :



menyalurkan tenaga dalam



bersemedi

23 Februari 2009

KANON PERJANJIAN LAMA

Kata "kanon" diambil dari istilah Yunani: "kane" yang artinya "tongkat pengukur" atau bisa juga diartikan "standar atau patokan." Sejak abad ke-4 Masehi, istilah ini digunakan sebagai istilah teologi yang merujuk pada kumpulan dan susunan kitab yang layak untuk disebut "kitab suci." Secara sederhana, "kanon" dapat diartikan "daftar kitab-kitab suci." Proses penyusunan kanon disebut "kanonisasi," sedangkan kitab-kitab yang diterima dalam kanon disebut kitab-kitab kanonik.

Secara umum, kita dapat membedakan kanonisasi Perjanjian Lama dan kanonisasi Perjanjian Baru. Dalam ensiklopedi kali ini, kita akan berbicara tentang kanonisasi Perjanjian Lama. Kanonisasi Perjanjian Lama dapat dibedakan antara Kanonisasi Yahudi, Samaritan, dan Kristen. Jika kanonisasi Yahudi dan Samaritan nyaris seragam, kanonisasi Kristen justru beragam. Dalam ensiklopedi ini, akan dibatasi pada kanonisasi Katolik dan Protestan.

Kanon Mula-mula

Tulisan berbahasa Ibrani yang tertua yang pernah ditemukan adalah tulisan yang ditemukan di Gezer dan diperkirakan berasal dari abad ke-8 M. Tulisan itu berisi daftar bulan dalam satu tahun dan hubungannya dengan pertanian, sama sekali tidak berisi teks-teks kitab suci. Naskah-naskah kitab suci tertua yang masih ada diperkirakan berasal dari tahun-tahun setelah itu.

Menurut kitab Makabe, Imam Besar Ezra, pada sekitar tahun 400 SM, tak lama setelah bangsa Israel diizinkan kembali ke negerinya oleh Raja Persia, membawa kitab-kitab Musa (Kejadian, Keluaran, Imamat, Bilangan dan Ulangan) dari Babel ke Israel.

Kumpulan kitab-kitab Musa itu dianggap sebagai Kanon Ezra yang penyusunannya diduga persis seperti susunan yang ada sekarang, mengingat Ezra adalah seorang pakar Taurat Musa.

Dalam 2Makabe 2:13 dikatakan juga bahwa pada periode yang sama, Nehemia menemukan suatu kumpulan kitab mengenai para raja dan nabi, tulisan-tulisan Daud, dan surat-surat para raja mengenai pembayaran nazar. Kedua kitab Makabe (1 dan 2) juga mengatakan bahwa Yudas Makabe mengoleksi kitab-kitab suci. Namun, tidak disebutkan kitab-kitab apa saja itu.

Yesus bin Sirakh, sekitar tahun 180 SM, menyebutkan daftar nama yang urutannya seperti dalam Taurat (Tora), kitab para Nabi (Nevi’im), dan beberapa nama dalam kitab-kitab tulisan atau sastra (Kethuvim). Dalam daftarnya itu, Sirakh tidak menyebut nama Rut, Kidung Agung, Ester, Daniel, dan Ayub.

Septuaginta (LXX): Kanon Aleksandria

Ketika Yunani melakukan ekspansi besar-besaran, dunia memasuki periode Hellenisasi. Pada masa pemerintahan Aleksander Agung, dibangunlah sebuah kota Hellenis di Mesir menurut namanya, yaitu kota Aleksandria, sekitar tahun 332 SM. Di sana, banyak terdapat orang-orang Yahudi yang lari dari Palestina ketika Bait Suci Salomo dihancurkan oleh Babel (586 SM).

Komunitas Yahudi ini mengalami pengaruh langsung dari budaya dan bahasa Yunani (Hellenis), sehingga banyak di antara mereka justru lebih menguasai Bahasa Yunani, sementara Bahasa Ibrani nyaris menjadi bahasa mati.

Melihat hal itu, para sarjana Yahudi yang kira-kira berjumlah 72 orang berkumpul di Aleksandria pada sekitar abad ke-3 sampai dengan abad pertama SM. Mereka menerjemahkan kitab-kitab suci berbahasa Ibrani ke dalam Bahasa Yunani Koine. Terjemahan itu dikenal dengan nama Septuaginta atau disingkat LXX (artinya "tujuh puluh" sesuai jumlah sarjana Yahudi yang menerjemahkannya).

Selama bertahun-tahun, Septuaginta menjadi kanon Yahudi. Naskah ini menyebar di seluruh wilayah berbahasa Yunani dan menjadi dasar penggunaan istilah-istilah teologi dalam Bahasa Yunani yang kemudian juga digunakan oleh para penulis Perjanjian Baru. Dua pakar Yahudi pada waktu itu, yaitu Philo Judaeus (pakar filsafat) dan Yosefus (pakar sejarah) menyebut Septuaginta sebagai inspirasi ilahi.

Kitab-kitab yang masuk dalam Septuaginta berdasarkan urutannya adalah:

1. Genesis (Kejadian)
2. Eksodos (Keluaran)
3. Leuitikon (Imamat)
4. Arithmoi (Bilangan)
5. Deuteronomion (Ulangan)
6. Iesous Naue (Yosua)
7. Kritai (Hakim-hakim)
8. Routh (Rut)
9. Basileion Alfa (1Samuel)
10. Basileion Beta (2Samuel)
11. Basileion Gamma (1Raja-raja)
12. Basileon Delta (2Raja-raja)
13. Paraleptomenon Alfa (1Tawarikh)
14. Paraleptomenon Beta (2Tawarikh)
15. Esdras Alfa (1Esdras)
16. Esdras Beta (Ezra-Nehemia)
17. Esther (Ester)
18. Ioudith (Yudit)
19. Tobit (Tobit)
20. Makkabaion Alfa (1Makkabe)
21. Makkabaion Beta (2Makkabe)
22. Makkabaion Gamma (3Makkabe)
23. Psalmoi (Mazmur)
24. Proseukhe Manasse (Doa Manasye)
25. Iob (Ayub)
26. Paroimiai Solomontos (Amsal 1-29)
27. Ekklesiastes (Pengkhotbah)
28. Asma Asmaton (Kidung Agung)
29. Sofia Salomontos (Hikmat Salomo)
30. Sofia Iesou Seirakh (Hikmat Yesus Sirakh)
31. Osee (Hosea)
32. Amos (Amos)
33. Mikaias (Mikha)
34. Ioel (Yoel)
35. Obdiou (Obaja)
36. Ionas (Yunus)
37. Naoum (Nahum)
38. Ambakoum (Habakkuk)
39. Sofonias (Zefanya)
40. Aggaios (Hagai)
41. Zakharias (Zakharia)
42. Aggelos (Maleakhi)
43. Esaias (Yesaya)
44. Ieremias (Yeremia)
45. Baroukh (Barukh)
46. Threnoi (Ratapan)
47. Epistole Ieremiou (Surat Yeremia)
48. Iezekiel (Yehezkiel)
49. Daniel (Daniel)
50. Makkabaion Delta Parartema (4Makkabe)

Sekolah dan Konsili Yavne (Yamnia)

Pada tahun 66 M, sebuah gerakan revolusi Yahudi terjadi secara besar-besaran di Yerusalem, untuk menentang pendudukan Romawi atas wilayah itu. Akibatnya, pada tahun 70 M, Romawi melancarkan serangan balik dengan menghancurkan Yerusalem termasuk Bait Suci Kedua. Pada waktu itu, Rabbi Yokhanan ben Zakkai menjabat sebagai Tanna. Ia merupakan kontributor utama dalam penyusunan teks-teks inti Mishna.

Situasi yang parah di Yerusalem membuat Rabbi Yokhanan dipindahkan ke kota Yavne atau yang dalam Bahasa Latin disebut "Iamnia." Di sana, ia mendirikan sebuah sekolah hukum Yahudi, yang di kemudian hari banyak memberikan kontribusi bagi penyusunan Mishna, bahkan menjadi sumber dari penyusunan Midrash, Talmud dan Aggada (literatur lain menyebut sekolah hukum Yahudi di Yavne ini dengan sebutan Kolese Yavne. Ada juga yang menyebutnya Akademi Yavne).

Sekolah hukum Yahudi di Yavne diyakini sebagai penerus dari Sanhedrin Agung di Yerusalem. Sanhedrin Agung Yerusalem inilah yang memegang kendali utama dalam peristiwa penyaliban Yesus. Bahkan, menurut penulis Injil Matius, Sanhedrin Agung ini bertanggung jawab atas kebohongan-kebohongan seputar hilangnya mayat Yesus.

Sebagai penerus Sanhedrin Agung Yerusalem, sekolah hukum Yahudi di Yavne memegang peran vital dalam penyusunan hukum-hukum Yahudi. Sejumlah pakar hukum Yahudi yang terkenal pun banyak dilahirkan dari sekolah ini, di antaranya Rabbi Gamaliel Yavne (Gamaliel II), yang terkenal karena diskusinya di Roma dalam membela iman Yahudi terhadap kaum pagan dan Kristen, serta Rabbi Akibba ben Yosef (Rabbi Akiva), yang terkenal karena otoritasnya dalam hal tradisi Yahudi serta sumbangan-sumbangan pentingnya dalam penyusunan Mishna dan Midrash Halakha.

Hal lain yang cukup menonjol dari sekolah ini adalah disusunnya liturgi-liturgi dan doa-doa Yahudi ke dalam bentuk permanen. Di sini juga, Targum Pentateukh diedit dan kemudian menjadi landasan bagi Targum Onqelos.

Ketika Yahudi memasuki masa kegelapan, yaitu ketika Bahasa Ibrani nyaris menjadi bahasa mati dan ketika banyak orang Yahudi yang menjadi Kristen, para ahli dari sekolah ini berkumpul dan mengadakan Konsili pada tahun 90-95 M, yang kemudian dikenal dengan nama Konsili Yavne atau Konsili Yamnia.

Dua keputusan penting dari Konsili ini adalah penolakan terhadap Septuaginta (LXX) dan kutukan terhadap kaum Minim. Kutukan ini mendapat respon dari sejumlah bapak-bapak gereja pada waktu itu.

Dampak dari Konsili ini adalah ditetapkannya penggunaan Bahasa Ibrani untuk kepentingan agama (bahkan bagi orang-orang Yahudi di luar Israel) serta pemisahan antara Yahudi dan Kristen. Meski begitu, banyak orang Kristen yang dulunya beragama Yahudi, masih beribadah di sinagoge-sinagoge Yahudi sampai akhir abad pertama masehi.

Dalam hal Kanon Perjanjian Lama, Konsili Yavne menolak tujuh kitab yang ada dalam Septuaginta (LXX). Setidaknya ada empat kriteria yang ditetapkan dalam Konsili ini mengenai kitab-kitab yang layak masuk kanon. Keempat kriteria tersebut adalah:
1. Harus sesuai dengan Pentateukh
2. Harus ditulis dalam Bahasa Ibrani
3. Harus ditulis di Palestina
4. Harus ditulis sebelum tahun 400 SM.

Berdasarkan keempat kriteria di atas, maka tujuh kitab yang ada dalam Septuaginta (LXX) yang ditolak adalah:

1. Baroukh (Barukh), karena tidak ditulis di Palestina
2. Sofia Iesou Seirakh (Hikmat Yesus Sirakh), karena ditulis setelah tahun 400 SM
3. Makkabaion Alfa (1Makkabe), karena ditulis setelah tahun 400 SM
4. Tobit dan beberapa bagian dari kitab Daniel dan Ester, karena ditulis dalam Bahasa Aram dan ditulis di luar Palestina
5. Ioudith (Yudit), karena ditulis dalam Bahasa Aram
6. Sofia Salomontos (Hikmat Salomo), karena ditulis dalam Bahasa Yunani
7. Makkabaion Beta (2Makkabe), karena ditulis setelah tahun 400 SM dan ditulis dalam Bahasa Yunani

Teks Massoret

Pada abad ke-7 hingga abad ke-11 M, lahirlah kelompok ahli kitab suci Yahudi yang tinggal di sekitar wilayah Babilonia dan Palestina. Kelompok ini kemudian dikenal dengan nama kelompok Massoret, yang mewakili dua sekolah Yahudi yang terkenal pada waktu itu.

Sekolah pertama diwakili oleh Aharon ben Moshe ben Asher (meninggal sekitar tahun 960 M), sedangkan sekolah kedua diwakili oleh Moshe Ben Naftali (sering juga disebut Ya’akov ben Naftali, ada juga yang menyebutnya ben Dawid ben Naftali. Hidup pada tahun 890-940 M). 

Keduanya adalah tokoh-tokoh Massoret yang terlibat dalam perdebatan panjang soal kodefikasi Naskah Ibrani. Perdebatan mereka tidak selesai, sehingga memunculkan dua standard kodefikasi Naskah Ibrani, yaitu kodefikasi ben Asher dan kodefikasi ben Naftali (perbedaan kodefikasi antara keduanya dapat dilihat dalam "Masoret dan Standarisasi Perjanjian Lama").

Kelompok Massoret mengumpulkan manuskrip-manuskrip berbahasa Ibrani dan kemudian membanding-bandingkannya. Hal itu mereka lakukan untuk membuat suatu teks Ibrani standard yang lebih mudah dibaca. Karena itu, salah satu usaha mereka adalah memberikan tanda niqqud (tanda vokal) ke dalam manuskrip-manuskrip kuno tersebut.

Pemberian tanda niqqud sangat penting, mengingat huruf-huruf Ibrani kuno tidak mengenal huruf vokal.

Proses pemberian tanda vokal seringkali membutuhkan tafsir khusus, sebab tidak sedikit kata dalam Bahasa Ibrani yang akan memiliki perbedaan arti hanya karena perbedaan tanda vokal atau cara membacanya, misalnya kata "אב" (‘-v) yang disusun oleh dua huruf Ibrani: alef dan beth. Jika dibaca "av" artinya "bapak." Namun, jika dibaca "ev" artinya menjadi "rumput muda."

Selain masalah pada pemberian tanda vokal, Kelompok Massoret juga diperhadapkan pada perbedaan huruf konsonan antara satu manuskrip kuno dengan manuskrip lainnya. Akibatnya, teks standard yang disusun oleh Kelompok Massoret seringkali memiliki perbedaan dengan beberapa manuskrip kuno yang digunakan sebelumnya.

Para ahli mengungkapkan bahwa jika teks standard Kelompok Massoret dibandingkan dengan manuskrip-manuskrip kuno termasuk dengan Septuaginta (LXX), akan ditemukan sejumlah perbedaan, baik perbedaan kecil maupun perbedaan yang cukup besar.

Untungnya, Kelompok Massoret menyertakan penjelasan-penjelasan dalam naskah mereka, misalnya dalam Yos. 21:37. Dalam teks standard Massoret dijelaskan bahwa frase "empat kota" tidak ditemukan dalam manuskrip-manuskrip kuno tertentu.

Perbedaan penggunaan huruf-huruf konsonan juga ditemukan antara teks standard ben Asher dan teks standard ben Naftali. Perbedaan tersebut muncul karena perbedaan pandangan mereka mengenai manuskrip-manuskrip kuno yang menjadi acuan mereka.

Dua manuskrip kuno, yaitu Aleppo Codex dan Codex Cairensis, menggunakan standard ben Asher. Dan meskipun standard ben Asher dan ben Naftali sama-sama disebut Teks Massoret (TM) atau Massoretic Text (MT). Namun, standard ben Asherlah yang banyak dijadikan acuan para ahli Perjanjian Lama modern. Standard ini juga yang digunakan oleh gereja-gereja Protestan dalam menyusun teks Ibraninya, termasuk naskah Biblia Hebraica Stuttgartensia (BHS) yang digunakan oleh Lembaga Alkitab Indonesia (LAI).

20 Februari 2009

BERESITH : Kata Pertama dalam Alkitab

"Pada mulanya Allah menciptakan langit dan bumi..." (Kej. 1:1)

Dalam naskah Ibrani, kalimat ini berbunyi, "bereshith bara Elohim eth hashshamayim we eth ha’arets". Jika dibaca sepintas, nampaknya tidak ada masalah dengan ayat ini. Namun, di kalangan penafsir Perjanjian Lama, justru ayat ini sangatlah kompleks. Di kalangan Yahudi sendiri berkembang sedikitnya tiga bentuk terjemahan yang berbeda, antara Ibn Ezra, Rashi, dan terjemahan tradisional.

Terjemahan Ibn Ezra dan Rashi menempatkan ayat tersebut di atas sebagai anak kalimat. Namun, Ibn Ezra menganggap ayat 2 sebagai induk kalimat, sementara Rashi menganggap ayat 3 sebagai induk kalimat. Terjemahan tradisional menempatkan ayat 1 merupakan induk kalimat, sedangkan ayat 2 dan 3 hanya sebagai pelengkap.
Saya ingin memfokuskan bahasan pada ayat 1 terlebih dahulu. Ada empat bagian yang harus dipahami, yaitu:

(1) Kata bereshith (“Pada mulanya...”) adalah suatu kata benda abstrak yang berhubungan dengan kata rosh (kepala) dan rishon (pertama). Dalam pemakaiannya, kata ini sering digunakan untuk menunjukkan suatu periode yang bersifat temporer atau sementara, misalnya “dari awal sampai akhir tahun...” (Ul. 11:12) atau “pada permulaan pemerintahan...” (Yer. 26:1). Dalam konteks Kej. 1:1, kata reshith menunjukkan permulaan waktu itu sendiri, bukanlah permulaan dari suatu periode kekekalan (bnd. Yes. 40:21; 41:4).

Terjemahan “pada mulanya...” merupakan suatu bentuk terjemahan yang tidak sepenuhnya menjelaskan makna kata bereshith. Kata bereshith dalam Kej. 1:1 ini lebih tepat diterjemahkan “pada awal dari...” atau “pada permulaan...” untuk menegaskan bahwa permulaan yang dimaksud bukanlah permulaan kekekalan, melainkan permulaan dari penciptaan langit dan bumi. Dengan demikian, maksud dari kata bereshith menjadi lebih jelas. Bukan mengatakan bahwa pernah ada suatu masa dimana Allah belum ada, melainkan untuk menegaskan bahwa inisiatif penciptaan itu berasal dari Allah bukan oleh kekuatan lain di luar Allah.

Kata bereshith merupakan bentuk ekspresi iman yang terkait dengan keseluruhan fondasi hidup. Maksud dari ayat ini adalah bahwa alam semesta beserta segala sesuatu yang ada di dalamnya, bergantung pada suatu konsep ilahi dan hanya bisa dipahami dalam terang rencana Allah.


(2) Kata bara dalam Bahasa Ibrani berarti “menciptakan.” Ini bukanlah kata yang umum digunakan dalam literatur-literatur Ibrani. Ada tiga hal penting yang harus menjadi catatan kita untuk bisa memahami makna kata bara. Pertama, kata ini hanya digunakan jika subyeknya adalah Allah, lebih spesifik lagi, Allah Israel. Kedua, teks yang menggunakan kata bara tidak pernah menyebutkan darimana sesuatu itu diciptakan. Ketiga, kata ini lebih sering digunakan dalam penciptaan manusia (1:27) dan hal-hal yang tidak terduga (Bil. 16:30; Yes. 65:17), selebihnya adalah penciptaan binatang-binatang besar di laut (Kej. 1:21), gunung-gunung (Am. 4:13), dan binatang-binatang (Mzm. 104:30).

Jadi, ada tiga makna penting juga dengan penggunaan kata ini:
1) Hanya ada satu ilah yang menciptakan segala sesuatu, yaitu YHWH (ALLAH). Kata ini sama sekali tidak pernah digunakan dalam hubungannya dengan ilah-ilah pagan.
2) Meskipun tidak menyebutkan darimana sesuatu itu diciptakan, namun bukan berarti bahwa kata bara merupakan bukti untuk memperkuat adanya pandangan creatio ex nihilo. Menurut W.H. Schmidt, seorang penafsir Perjanjian Lama dari Jerman, kata bara berfungsi untuk menjelaskan bahwa segala ide dan konsep penciptaan itu murni berasal dari Allah. Segala sesuatu diciptakan dengan firman dan eksistensi kekekalan-Nya.
3) Kata ini menjelaskan bagaimana Allah menciptakan segala sesuatu dengan kekuatan-Nya yang luar biasa.


(3) Kata Elohim dalam Bahasa Ibrani merupakan bentuk jamak dari kata El. Namun, penggunaan kata ini dalam naskah aslinya sama sekali bukan bermaksud menggambarkan Allah dalam jumlah jamak.

Sangat jelas dan tegas bahwa Perjanjian Lama sangat tidak kompromi dengan politeistik (penyembahan banyak ilah). Shema Yis’ra’el YHWH Eloheinu, YHWH Ekhad (Ul. 6:4) menjadi landasan teologis dalam konsep-konsep teologi Perjanjian Lama yang berkembang kemudian, sehingga tidak ada alasan bahwa kata Elohim hendak melukiskan keberadaan Allah yang jamak.

Lalu, mengapa harus digunakan dalam bentuk jamak? Pertanyaan ini banyak memunculkan jawaban-jawaban yang bersifat spekulatif. Bahkan ada yang mengatakan bahwa penggunaan bentuk jamak adalah gambaran trinitas dalam Perjanjian Lama. Ini jelas merupakan argumen yang tanpa landasan yang jelas.

Dalam nats ini, kata Elohim mengikuti kata kerja tunggal, bara. Karena itu, kata Elohim di sini benar-benar digunakan dalam bentuk tunggal. Menurut tradisi Ibrani, kata jamak yang digunakan dalam bentuk tunggal berarti adanya perluasan makna dari kata tersebut atau adanya tekanan khusus terhadapnya.

Menurut akar katanya, kata Elohim, dari kata El, berarti “kekuatan.” Ketika menjadi bentuk jamak, kata ini memiliki makna “kekuatan atas kekuatan” atau “kekuatan tertinggi.” Dalam nats ini, kata Elohim tidak digunakan sebagai nama pribadi. Menurut Westermann, seorang ahli tafsir Perjanjian Lama dari Jerman, kata Elohim menunjukkan bahwa Allah adalah Yang Bertindak dan Berkarya. Realitas Allah nampak dalam karya-Nya; Ia bukanlah sebuah entitas yang terpisah dengan karya-karya-Nya.


(4) Kalimat hashshamayim we eth ha’arets tidak bisa dimaknai secara harafiah sebagai “langit dan bumi.” Meskipun, secara harafiah memang kata shamayim berarti “langit” atau “surga” dan kata arets berarti “bumi” atau “dunia.”

Ada pengaruh tradisi semitik yang sangat umum dalam teks ini, suatu tradisi yang juga dikenal oleh orang-orang Mesir, Akkad, dan Ugarit. Dalam tradisi ini, penggunaan kata “langit dan bumi” sebetulnya untuk menggambarkan “alam semesta” bukan dalam arti tata surya dan jagad raya, tetapi mencakup segala sesuatu yang nampak dan tidak nampak.

Shamayim menggambarkan “surga” sebagai ‘kediaman’ Allah sedangkan arets menggambarkan “dunia” sebagai kediaman manusia. Inipun tidak bisa diartikan secara harafiah. Stadelmann, dalam bukunya berjudul Hebrew Conception of the World, mengatakan bahwa arets menggambarkan wilayah dimana manusia berpikir dapat hidup. Dalam konteks masyarakat Ibrani waktu itu, lautan dan langit bukanlah suatu tempat dimana manusia dapat hidup.

BERIMAN DAN HIDUP DALAM JANJI ALLAH

Berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa Allah yang kita sembah adalah hidup? Dan berapa banyak yang percaya bahwa Allah kita mati? Jika kita mau belajar mengenai iman dan janji Allah, maka hal utama yang harus kita yakini adalah apakah bagi saya Allah itu nyata atau tidak. Tanpa keyakinan ini, mustahil kita dapat mengalami iman dan janji Allah.

Banyak sekali sekarang ini kita dapati slogan-slogan kristiani yang menyatakan mengenai kuasa iman, doa yang dijawab, menggapai janji Allah, dan lain-lain. Dan kita setuju untuk secara serentak berkata: Amin!, Halleluya. Tapi sedikit sekali tampaknya yang mau dan berani mengalaminya. Ke mana kita saat Allah menantang untuk melakukannya?

BERIMAN
Suatu pagi di pertengahan tahun 1997, saya saat teduh mengenai Markus 11:24. Hari itu tanggal 16 Agustus yang saya tahu sehari lagi adalah hari ulang tahun salah seorang teman saya. Dalam kondisi tidak ada uang sama sekali untuk membeli kado, saya mencoba mempratekkan kebenaran ayat ini. Siang hari setelah itu, Bapak saya tiba-tiba mendatangi saya di teras depan dan memberikan sejumlah uang ke saya tanpa maksud apa-apa. Yang saya tahu, biasanya Bapak akan memberi uang / hadiah / imbalan jika saya mau melakukan suatu pekerjaan tertentu, atau jika ada sedikit uang kembalian dari pembelian sesuatu biasanya itu menjadi milik saya. Itu adalah pengalaman iman saya yang pertama yang memberi pengaruh luar biasa terhadap pengalaman-pengalaman selanjutnya.

Beriman berarti meyakini bahwa Allah akan melakukannya. Syaratnya cuma satu, yaitu percaya. Jika Anda mempercayai saya untuk memimpin sebuah kelompok, itu akan sangat menolong saya untuk dapat melakukannya dengan baik. Tetapi, sedikit saja keraguan sudah cukup untuk mengacaukan saya. Begitu pula dengan kita, sedikit kebimbangan sudah cukup untuk gagalnya sebuah iman. Bukankah Petrus sudah berhasil berjalan di atas air, tapi apa yang kemudian membuatnya jatuh?

Beriman dimulai dari kebutuhan kita akan sesuatu, kita berdoa meminta kepada Allah agar memberikan sesuai dengan yang kita butuhkan, selesai! Mudah sekali ternyata. Yang berat adalah proses selanjutnya, yaitu mempercayai bahwa Allah akan melakukannya dan sikap kita dengan setiap kemungkinan jawabanNya. Paijo boleh berbangga mempunyai pacar secantik dan sepintar Inem. Suatu hari, dia pengin mengirim surat ke Inem. Setelah bergumul semalam-malaman, menyusun kata demi kata menjadi sebuah rangkaian kalimat yang romantis dan puitis, jadilah sebuah surat buat si Inem. Karena terpisah oleh jarak yang begitu jauhnya, maka Paijo berencana untuk mengirim lewat pos saja, “biar ngirit”, pikirnya. Ketika sampai di kantor pos, tiba-tiba dia berpikir: “jangan-jangan nanti salah alamat atau pak pos nggak tahu alamatnya si Inem, wah bisa kacau nanti!”. Lalu Paijo memutuskan untuk mengantarnya sendiri, demi yayang tak apalah. Anggaran yang tadinya hanya Rp 2.000,- membengkak menjadi hampir Rp 10.000,- karena ada beberapa pengeluaran tidak terduga di sepanjang perjalanan. Sampai di rumah Inem, ternyata orangnya sedang pergi arisan ibu-ibu PKK se-RW, yang ada cuma si Mona, pembantu Inem yang baru seminggu kerja di situ. “Gimana kalo kutitipkan si Mona saja yah? Ah, jangan-jangan nanti dia lupa, atau jangan-jangan malah dia yang baca. Biarlah kutunggu saja, toh cuma arisan, bentar juga pulang” pikir si Paijo. Waktu berlalu, sampai kemudian jam 19.47, si Mona datang dengan tergesa-gesa sambil berkata: “Tuan, Non Inem barusan telpon bilang nggak pulang malam ini karena mau pergi ke luar kota ke tempat pacarnya, saya lupa bilang kalo lagi ada tamu, maaf…”. Blaik! Paijo langsung lemes.

Cerita ini mungkin sudah usang, tapi ternyata kita sering bersikap seperti si Paijo: tidak bisa percaya Pak Pos, tidak percaya si Mona, sering berujar: jangan-jangan …. Jika kita senang disebut sebagai orang percaya, apa konsekuensinya? Kita memang tidak bisa memastikan kapan Allah akan menjawab doa-doa kita. Tapi adalah anugerah jika kita diberi kesempatan untuk terlibat dalam proses mengenal Allah, selama masa-masa penantian itu.

Allah tidak pernah main-main dengan doa-doa kita, selalu dituntunnya kita agar setiap permintaan kita benar-benar menjadi berkat bagi kita. Seperti seorang ayah yang menuntun anaknya yang minta mobil-mobilan, diajarinya setia untuk menabung, diajari hidup sederhana, dan seterusnya hingga dapat membeli sebuah mobil sungguhan, meski terkadang dengan sedikit mujizat dari sang ayah. Luar biasa, bukan?

Pasti ada minimal satu sifat Allah yang dikenalkan pada kita melalui jawaban-jawaban doa kita. Ketika akan berangkat ke sebuah acara Persekutuan Mahasiswa, sekelompok anak kost sepakat datang bersama-sama, semua! Tapi ada sedikit masalah, langit kelihatan mendung dan ada banyak jemuran yang masih belum kering. Dengan berani, seorang teman berkata dengan yakin: “Tidak akan hujan!”. Begitulah, setelah pulang dari persekutuan tersebut mereka mendapati pakaian-pakaian itu basah semua karena kehujanan. Apanya yang salah? Bukankah sudah yakin, sepakat lagi! Firman Tuhan bilang 2 orang atau lebih sepakat, permintaannya akan dikabulkan, tapi nyatanya?

Teman-teman kostku, tidak ada yang salah dengan iman kalian. Jika kita yakin segala sesuatu (termasuk hidup kita) berada dalam kedaulatan Allah, maka apapun yang terjadi, apapun yang menjadi jawaban atas iman kita adalah mendatangkan kebaikan bagi kita (Roma 8:28), untuk itu jangan langsung menghakimi Allah dulu.

Yang terpenting dari beriman adalah bukan jawabannya, tetapi buahnya yang semakin meningkatkan kualitas hubungan kita dengan Allah, semakin mendewasakan kita dan semakin membuat kita paham akan siapa Allah bagi kita. Salah satu karunia saya adalah beriman, tetapi tidak selamanya juga Allah menjawab sesuai iman saya. Tapi akan selamanya Allah membuka pribadiNya untuk saya kenal.

HIDUP DALAM JANJI ALLAH
Dunia yang kita hidupi, adalah dunia dengan hari-hari penuh kejahatan. Komitmen untuk taat dan setia kepada Allah merupakan perjuangan tiada henti. Banyak kegagalan, airmata, depresi yang menyertai. Ini adalah peperangan yang mau tidak mau, siap tidak siap kita harus hadapi. Pilihannya hanya dua, menang atau kalah. Tidak ada istilah remis atau damai dalam peperangan ini.

Janji Allah dimaksudkan untuk menjadi kemenangan kita atas peperangan ini. Ketika suatu janji dinyatakan Allah, maka itu berarti jaminan kemenangan menjadi milik kita. Saat janji diucapkan adalah saat iblis dan rombongannya lari ketakutan, karena kekalahan mereka sudah pasti akan terjadi. Allah tidak pernah lalai untuk melunasi janjiNya itu (Bil. 23:19).

Para tokoh Alkitab pada jaman dulu menikmati kemenangannya bukan karena usaha mereka, tetapi justru karena janji Allah yang dinyatakan pada mereka:
  • Nuh, memperoleh janji menjadi satu-satunya keluarga yang diselamatkan dari air bah.
  • Abraham, akan menjadi berkat bagi semua kaum di muka bumi (saat ini sedang digenapi).
  • Yusuf, dijanjikan akan menjadi seorang penguasa.
  • Musa & bangsa Israel, dijanjikan sebuah tanah perjanjian.
  • Yosua, janji luar biasa melalui kakinya (Yos. 1:3,9)
  • dst, sampai kisah pengutusan Pauluspun dimulai dengan sebuah janji Allah (Kis. 13:2), sampai… sekarang dan akan terus berlangsung.

Bagaimana agar memperoleh janji Allah?

Abraham menikmati dengan cara Allah yang menyatakannya sendiri, demikian pula dengan Musa, Yusuf, dll. Daud menerima janji Allah dengan cara meminta kepada Allah, demikian pula dengan Salomo, Raja Yosafat, dll. Jika Allah tidak menyatakan sesuatu kepada kita, maka hendaklah kita memintanya, karena inipun yang diajarkan oleh Yesus, bahwa kita diminta untuk meminta kepada Allah (Sampai sekarang kamu belum meminta sesuatupun dalam nama-Ku.

Mintalah maka kamu akan menerima, supaya penuhlah sukacitamu. Yoh. 16:24). Jika Allah yang adalah empunya segala sesuatu ini menyatakan kunci berkat yang sedemikian besar, apakah kita akan meminta sesuatu yang kecil? Saya senang dengan kata-kata dari Dawson Trotman: jangan minta kacang goreng! Tapi mintalah bangsa-bangsa! Sanggupkah Allah?

Menanti sampai digenapi
Inilah yang menjadi pertanyaan bagi sebagian besar orang berkaitan dengan daya tahan tiap pribadi untuk menanti Allah menggenapi janjiNya. Orang-orang yang tekun dalam doa dan firman akan terus menikmati masa-masa penantian ini, jika mulai hambar mereka akan senantiasa diteguhkan dan disegarkan oleh Roh Kudus. Orang-orang ini paham, jika suatu janji telah diikrarkan, maka tugas selanjutnya lebih mudah, tinggal terus menabur dan menyiram, dan taat pada Allah. Mengapa demikian, ingat, perjanjian antar dua pihak akan terus berjalan jika masing-masing pihak tetap pada kesepakatan semula dan tidak berusaha menyalahi aturan.

Dulu saya pernah dijanjikan sebuah sepeda balap oleh Bapak saya jika bersedia masuk ke sekolah Kristen, saya menurut dan sepeda itu menjadi milik saya, seandainya saya tidak menurut mungkin kalau berangkat sekolah masih bersama sepeda BMX merah. Begitu pula dengan Allah. Dia akan meneruskan sampai digenapiNya apa yang telah dijanjikanNya jika kita tetap taat, di lain pihak Dia berhak pula membatalkan janjiNya jika kita tidak taat pada Dia.

Musa pernah mengalaminya sekali, dia tidak taat ketika diminta Allah untuk berkata kepada bukit batu agar mengeluarkan air, tetapi dia malah memukul bukit itu, akibatnya dia tidak diijinkan Allah masuk ke negeri perjanjian itu (Bil. 20:12). Salomo, raja terbesar yang pernah hidup, juga mengalami hal ini. Dia tidak selamanya hidup setia kepada Allah Israel, akibatnya janji berkat yang dialamatkan kepada keturunan Daud tidak dilanjutkan Allah, melalui pecahnya kerajaan Israel hingga runtuhnya kerajaan itu pada jaman Nebukadnezar berkuasa di Babel. Janji Allah dapat dibatalkanNya jika kita tidak taat pada Allah.

Anugerah
Ada satu lagi janji Allah, yaitu yang dinyatakanNya tanpa syarat. Janji ini dapat kita istilahkan sebagai Anugerah Allah. Anugerah ini bersifat kekal dan tidak dipengaruhi oleh sikap kita atau ketaatan kita pada Allah. Ketika Allah menyatakan janji kepada Abraham, bahwa dia akan menjadi suatu bangsa yang besar dan akan menjadi berkat bagi semua kaum di muka bumi, ini adalah suatu contoh anugerah Allah (Kej. 17:7). Semula anugerah ini hanya diperuntukkan bagi keturunan yang lahir dari Sara (Kej.21:12), tetapi kemudian dalam perkembangannya berkat inipun berlaku atas keturunan Hagar, yaitu Ismael (Kej.21:13). Kita lihat di sini, janji ini dinyatakan oleh Allah tanpa syarat apapun (bandingkan dengan janji yang dinyatakan pada Daud, mengenai keutuhan kerajaan Israel, 1 Raj. 2:4). Sampai sekarang, setelah ribuan tahun berlalu sejak janji ini dinyatakan, kita masih dan sedang menikmati berkat ini dan sedang terus berlangsung sampai semua kaum di muka bumi mendapat berkat, yaitu mendengar Kabar Sukacita.


Pemilihan atas Israel sebagai umat Allah adalah contoh lain dari anugerah Allah. Israel, adalah suatu bangsa yang paling tegar tengkuk didalam mengikuti illahnya. Ketika berada dalam suasana damai, aman, nyaman, maka ketidaktaatan Israel muncul sehingga seringkali menimbulkan kecemburuan Allah. Akan tetapi Allah tetap menganggap Israel sebagai umat pilihanNya. Kenyataan bahwa Israel pernah dihancurkan, dicerai beraikan Allah adalah juga dalam rangka Allah menunjukkan kasihNya kepada bangsa ini, yaitu memurnikan Israel sehingga menjadi umat yang benar-benar mengasihi Allah.

Penutup
Iman, adalah karunia Allah bagi setiap yang percaya bahwa Allah akan menyertai mereka. Bagian kita adalah melakukannya dan jangan takut atau bimbang. Jika iman kita dijawab, pujilah Tuhan, atau jikapun tidak, Dia tetap Allah kita. Janji adalah kemenangan bagi setiap orang percaya, karena Allah pasti menggenapinya. Jika sesuatu yang besar Allah berikan, mengapa kita minta sesuatu yang kecil? Mintalah pada Allah janji-janji yang besar, jika perlu yang besar sekali, karena Allah pasti memberikannya.


Dalam KasihNya,


Rudie Ariwibowo